Ditahan Kembali Terkait Kasus Korup Hakim Agung
Ditahan Kembali Terkait Kasus Korup Hakim Agung
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta ulang menghambat mantan Hakim Agung Gazalba Saleh selama persidangan masalah dugaan korupsi penanganan perkara di Mahkamah Agung (MA). Keputusan ini disita sesudah Majelis Hakim menolak permintaan penangguhan penahanan yang diajukan oleh Gazalba dan tim kuasa hukumnya.
“Jadi mulai hari ini Pak Gazalba Saleh jalankan penetapan ini lagi, perpanjangan tahanan lagi,” tegas Hakim Ketua Fahzal Hendri di dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin, (8/7/2024).
Gazalba dapat ulang mendekam di Rumah Tahanan (Rutan) Kelas IA Jakarta Timur paling lama 57 hari.
Menanggapi ketetapan tersebut, penasihat hukum Gazalba berharap Majelis Hakim perhitungkan agar kliennya tidak ditahan mengingat Gazalba punya domisili dan pekerjaan yang jelas.
Senada, Gazalba pun ikut berharap agar permintaan yang diajukan lengkap secara tertulis itu dikabulkan Majelis Hakim.
“Yang Mulia, mohon dipertimbangkan surat dari penasihat hukum saya,” ucap Gazalba seperti dikutip dari Antara.
Meskipun demikian, Majelis Hakim senantiasa mengabulkan permintaan penahanan dari Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Hakim Fahzal mengatakan bahwa permintaan penangguhan penahanan sesudah itu dapat diajukan segera kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menaungi Pengadilan Tipikor.
“Masa penahanan ini bukan tahanan Majelis Hakim ulang pak, ini perpanjangan Ketua Pengadilan. Nanti kalau tersedia permintaan silakan bertujuan ke Ketua Pengadilan,” ujar Fahzal.
Usai ketetapan tersebut, Gazalba segera dibawa ke rutan untuk menunggu persidangan sesudah itu terhadap 15 Juli 2024 bersama dengan agenda pemeriksaan saksi.
Didakwa Menerima Gratifikasi
Sebelumnya, Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta udah memperlihatkan surat dakwaan KPK terhadap Gazalba Saleh memenuhi syarat formal dan materiil, agar persidangan dapat dilanjutkan. PT DKI Jakarta terhitung mengutamakan pentingnya melanjutkan persidangan mengingat nota keberatan atau eksepsi tim penasihat hukum Gazalba udah memasuki pokok perkara dan perlu dibuktikan lebih lanjut.
Gazalba didakwa terima gratifikasi dan jalankan tindak pidana pencucian uang (TPPU) bersama dengan keseluruhan senilai Rp 25,9 miliar tentang penanganan perkara di MA.
Dugaan penerimaan gratifikasi meliputi 18.000 dolar Singapura (Rp200 juta) dan penerimaan lain bersifat 1,128 juta dolar Singapura (Rp13,37 miliar), 181.100 dolar AS (Rp2,9 miliar), serta Rp9,43 miliar selama periode 2020-2022.
Atas dakwaan gratifikasi, Gazalba terancam pidana di dalam Pasal 12 B juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 perihal Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana udah diubah bersama dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara atas dakwaan TPPU, Gazalba terancam pidana Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 perihal Pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Persidangan masalah Gazalba Saleh tetap berlanjut dan publik menantikan hasil akhir dari proses hukum ini.
KPK Cium Bau Anyir Putusan Hakim PN Tipikor yang Bebaskan Gazalba Saleh
Ketua waktu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Nawawi Pomolango, menyebut putusan sela hakim tingkat pertama yang membebaskan Gazalba Saleh memperlihatkan terdapatnya kekacauan di dalam proses peradilan.
Hal itu terhitung sebagaimana termaktub di dalam pertimbangan majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta yang mengabulkan perlawanan hukum atau verzet jaksa KPK.
“Pernyataan bahwa tersedia pertimbangan hukum majelis hakim banding memperlihatkan bahwa produk putusan sela itu menyebabkan kekacauan di dalam proses peradilan, itu yang kami maksudkan, bahwa kami setuju bersama dengan pertimbangan itu. Kami setuju bersama dengan pertimbangan dimaksud, kami mengapresiasi pertimbangan dimaksud,” ujar Nawawi waktu konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Selasa (25/6/2024).
Nawawi mengaku kaget bersama dengan putusan hakim PN Tipikor Jakarta Pusat yang mengadili Gazalba jadi mempermasalahkan dugaan terdapatnya kecacatan administrasi.
Padahal hakim yang dimaksud terhitung sebelum-sebelumnya pernah mengadili perkara korupsi proyek BTS 4G BAKTI Kominfo yang menyeret mantan Menkominfo Jhonny G Plate dan mantan Gubernur Papua Lukas Enembe.
“Ini yang kami katakan, ini dapat terlampau sebabkan terganggunya proses praktek peradilan,” tegas Nawawi.
“Dalam sebuah duplik atau materi pleidoi dari seorang terdakwa terhadap beberapa waktu tempo hari sampai menyetir produk putusan sela ini di di dalam duplik atau pledoinya,” sambung dia.
Nawawi sesudah itu menyebut bukan hal yang mengherankan dari putusan hakim tingkat pertama membela Gazalba seperti tercium aroma-aroma tidak sedap.
“Kalau soal bau-bau anyir, semua orang dapat menciumnya. Apalagi Komisi Pemberantasan Korupsi yang sebenarnya kerjanya mencium, Pak,” ucap Nawawi.
KPK Laporkan 3 Hakim yang Bebaskan Gazalba Saleh ke KY dan Bawas MA
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melaporkan tiga hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang mengabulkan eksepsi Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh. Ketiga hakim PN Jakpus dilaporkan ke Komisi Yudisial (KY) dan Badan Pengawasan Mahkamah Agung (MA).
Adapun ketiga hakim yang menanggulangi perkara Gazalba, yaitu Hakim Fahzal Hendrik, Hakim Rianto Adam Pontoh dan hakim Sukartono.
“Saya dapat berharap pernah penjelasan dari protokol kami. Kalau udah tersedia respons bagaimana terhadap laporan pengaduan yang kami layangkan kepada Komisi Yudisial dan Badan Pengawas,” kata ketua waktu KPK, Nawawi Pomolango, waktu konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (25/6/2024).
Dalam laporannya, Fahzal Cs dikira mengarahkan jaksa penutut umum KPK untuk mengamini ketetapan sela majelis hakim. Menurutnya, hal itu melanggar kode etik.
“Kami lihat bahwa majelis hakim di dalam produk terhadap tingkat pertama itu terkesan mengarahkan kepada jaksa penuntut umum kami untuk ikuti isi putusan yang mereka,” kata Nawawi.
“Tetapi oleh majelis hakim itu terkesan, “sudahlah penuhi ajalah itu syarat administrasi baru diajukan ulang itu”. Bagi kami satu bentuk pelanggaran kode etik,” sambung dia.
Sebagai mantan hakim yang udah berprofesi sebagai hakim selama 32 tahun, seharusnya Fahzal beri tambahan pilihan jalur hukum yang lain.
“Terima yuk atau banding. Itu saja yang dapat disampaikan oleh hakim, mengingatkan para pihak perihal hak-hak mereka sesudah putusan,” tegas Nawawi.